Sabtu, 12 April 2008

Aspek Genetik Kardiomiopati

Pendahuluan

Kardiomiopati adalah kelainan fungsi otot jantung yang bukan diakibatkan oleh penyakit arteri koroner, kelainan jantung bawaan (congenital), hipertensi atau penyakit katup. Kardiomiopati yang secara harfiah berarti penyakit miokardium, atau otot jantung, ditandai dengan hilangnya kemampuan jantung untuk memompa darah dan berdenyut secara normal (Trelogan, 2000). Kondisi semacam ini cenderung mulai dengan gejala ringan, selanjutnya memburuk dengan cepat. Pada keadaan ini terjadi kerusakan atau gangguan miokardium, sehingga jantung tidak mampu berkontraksi secara normal. Sebagai kompensasi, otot jantung menebal atau hipertrofi dan rongga jantung membesar. Bersama dengan proses pembesaran ini, jaringan ikat berproliferasi dan menginfiltrasi otot jantung. Miosit jantung (kardiomiosit) mengalami kerusakan dan kematian, akibatnya dapat terjadi gagal jantung, aritmia dan kematian mendadak. Oleh karena itu kardiomiopati dianggap sebagai penyebab utama morbiditas dan mortilitas kardiovaskular. Secara selular, miosit jantung (kardiomiosit) merupakan sel yang sangat

terdiferensiasi dan jarang bereplikasi setelah kelahiran. Dengan demikian, kehilangan akibat kerusakan kardiomiosit akan berakibat berkurangnya jumlah unit fungsional miokardium. Jika selama ini kematian kardiomiosit dianggap hanya karena necrosis, bukti-bukti saat ini menunjukkan bahwa apoptosis juga terjadi dan ikut menyebabkan timbulnya gagal jantung (Narula et al., 1996). Meskipun telah ada kemajuan dalam pengobatan dan tersedianya transplantasi jantung, kardiomiopati masih menjadi penyebab kematian jantung utama pada anak-anak. Penurunan mortalitas dan morbiditas kelainan ini memerlukan pemahaman tentang penyebab dan patofiologinya, sehingga pengobatan kausal dapat diterapkan. Perkembangan iptek khususnya di bidang biologi molekular, memungkinkan penjelasan lebih rinci tentang berbagai penyakit atau kelainan mulai dari aspek patogenesis sampai ke aspek klinis. Banyak penyakit atau kelainan yang selama ini tidak jelas penyebabnya ternyata menunjukkan adanya kontribusi faktor genetis. Meskipun demikian, analisis genetis tidak tersedia di semua tempat, sehingga sekalipun faktor yang mendasari sebagian kelainan dapat diidentifikasi, tidak semua kelainan tadi dapat diungkap secara jelas. Termasuk dalam penyakit atau kelainan tadi adalah penyakit

kardiovaskular, khususnya kardiomiopati. Sebagian besar kardiomiopati, khususnya kardiomiopati hipertrofik dan kardiomiopati bengkak (dilated) adalah bentuk familial dengan ciri pewarisan utama dominan autosom. Kardiomiopati juga dapat timbul akibat sindroma herediter lain seperti hemochromatosis, diabetes, atau beberapa penyakit neuromuskular. Sebagai kelainan familial, kardiomiopati ditandai dengan heterogenitas genetis baik pada aras alelik maupun nir-alelik (Richard et al., 2006). Untuk memberi gambaran peran faktor genetis dalam patofisiologi kardiomiopati, dalam makalah ini akan diuraikan berbagai faktor genetis yang mendasari timbulnya kelainan. Setidak-tidaknya dengan uraian berikut, gambaran tentang kontribusi faktor genetik dapat lebih jelas difahami. Review oleh Franz et al. (2001) serta Murphy dan Starling (2005) memberi wawasan pula tentang bagaimana perkembangan genetik lewat temuan-temuan molekular akan berpengaruh pada praktek klinis khususnya terhadap prospek diagnosis molecular dan pengobatan di masa depan.

Macam kardiomiopati

Di negara-negara industri, masalah kesehatan masyarakat yang utama adalah gagal jantung kongestif (Eriksson, 1995). Prevalensinya berkisar antara 1% sampai 2% (Cleland et al., 2001; Andersson & Waagstein, 1993) dan meskipun tersedia pengobatan yang sudah maju, kematian terkait dengan gagal jantung tetap tinggi. Pasien-pasien dengan gagal jantung secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan disfungsi ventrikel kirinya, yaitu pasien dengan kardiomiopati akibat iskemik (40-70%) dan nir-iskemik (26-35%) (Packer et al., 2001). Secara umum, penyebab yang mendasari timbulnya kardiomiopati nir-iskemik antara lain adalah hipertensi (17%), penyakit katup jantung (13%) serta kardiomiopati idiopatik (10%) (Andersson & Waagstein, 1993). Sementara itu, analisis terhadap kelompok pasien kardiomiopati yang tak diketahui di suatu pusat tersier menunjukkan bahwa 50% pasien gagal jantung niriskemik didiagnosis sebagai kardiomiopati idiopatik (Felker et al. 2000). Kebanyakan kardiomiopati terjadi sebagai akibat komplikasi penyakit arteri

koroner yang menyebabkan tersumbatnya aliran darah ke otot jantung. Kelainan ini mengenai 1 dari 100 orang pasien, biasanya laki-laki di atas umur 65 th. Pada pasien yang lebih tua biasanya lebih banyak terjadi pada perempuan. Sementara itu, kardiomiopati bukan sebagai akibat penyakit arteri koroner cukup jarang dan total diderita oleh 50.000 pasien di USA. Tetapi kelainan ini sering dijumpai pada orang muda dan merupakan alasan utama untuk transplantasi jantung. Kebanyakan kelainan ini disebabkan faktor genetis dan cenderung dijumpai dalam keluarga (Trelogan, 2000)

Beberapa klasifikasi untuk kardiomiopati telah dikembangkan (Anonim, 1980), tetapi berdasarkan ciri-ciri morfologis dan hemodinamis, ada empat kategori kardiomiopati yaitu (i) hypertrophic cardiomyopathy (HCM), (ii) dilated cardiomyopathy (DCM), (iii) restrictive cardiomyopathy, dan (iv) arrhytmogenic right ventricular cardiomyopathy (ARVC) (WHO, 1996). Sistem klasifikasi ini juga meliputi kardiomiopati spesifik yang terkait dengan iskemia, disfungsi katup, hipertensi, miokarditis, gangguan metabolik, penyakit sistemik, distrofi otot, gangguan neuromuskular, agen-agen toksik, dan kehamilan lanjut.

1. Dilated cardiomyopathy (DCM)

DCM adalah kardiomiopati yang paling umum, terdapat pada 2 dalam 100 orang dan terjadi manakala otot jantung melemah dan dan tak mampu memompa darah secara efektif. Otot jantung yang melemah kendur dan rongga jantung membengkak. Kebanyakan DCM disebabkan oleh penyakit arteri koroner, tetapi sekitar 30% disebabkan faktor genetis. Kebanyakan kasus DCM terjadi akibat penyakit lain dan faktor risiko nir-genetis termasuk:

• Penyakit arteri koroner sebagai penyebab paling umum.

• Konsumsi alkohol berlebihan, kronis yang dapat melemahkan otot jantung

• Kardiomiopati peripartum yang terjadi akibat kehamilan atau baru

melahirkan. Jenis DCM ini terkait dengan riwayat pribadi atau keluarga dengan faktor risiko penyakit jantung lain seperti obesitas, miokarditis, merokok, alkoholisma dan malagizi.

• Infeksi. Beberapa penyakit virus tertentu dapat menyebabkan miokarditis akut. Meskipun jarang, tetapi infeksi semacam ini dapat berakibat timbulnya DCM. Di daerah tropis, infeksi parasit tertentu juga merupakan penyebab DCM.

• Obat-obat antikanker, seperti doxorubicin dan daunorubicin dapat merusak jantung dan menyebabkan DCM pada sekitar 0.4-9% orang bergantung dosis.

2. Hypertrophic cardiomyopathy (HCM)

HCM terjadi manakala dinding jantung menebal, sehingga dapat mencegah darah lewat jantung. Kelainan ini cukup jarang, dijumpai pada sekiktar 0.2 % penduduk Amerika Serikat (USA) atau terdapat pada 2 dalam 1000 orang dan dapat mengenai laki-laki maupun perempuan semua umur. Gejala awal dan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi. Beberapa pasien tetap stabil setelah diagnosis dan beberapa lainnya membaik. Tetapi, beberapa pasien menunjukkan gejala memburuk dan menyebabkan usia pendek. Dalam kebanyakan kasus, HCM menyebabkan gagal jantung kongestif.

Pasien HCM juga berisiko mengalami kematian jantung mendadak. Ini berbeda dengan serangan jantung (heart attack) karena pada serangan jantung terjadi akibat sumbatan arteri menuju jantung. Pada kematian jantung mendadak, jantung memang berhenti berdenyut. Karena pasien dengan HCM sering tidak menunjukkan gejala, maka kematian mendadak seringkali merupakan satusatunya dan gejala pertama penyakitnya. Dari pasien dewasa yang didiagnosis, hanya 50% menunjukkan adanya gejala. Pasien lainnya didiagnosis selama pemeriksaan uji saring orang-orang yang memiliki riwayat penyakit dalam keluarga atau jika selama pemeriksaan lain terdeteksi adanya abnormalitas. Otot jantung bersifat sangat adaptif dan mampu membesar bila diregangkan baik karena katup jantung yang tak berfungsi normal atau tingginya tekanan darah. Otot yang membesar ini akan menyebabkan dinding jantung

menebal dan mampu memompa lebih kuat. Tetapi, penebalan dinding jantung juga dapat menyumbat aliran darah. Lazimnya, jantung akan kembali ke ukuran normal jika tegangan menghilang misalnya bila tekanan darah terkendali.

3. Restrictive cardiomyopathy (RCM)

RCM merupakan kardiomiopati jarang (terjadi 1 dalam 1000 orang), terjadi manakala dinding jantung menjadi kaku dan tidak cukup lentur untuk terisi darah. Akibat jantung tidak terisi darah, maka kemampuannya untuk memompa darah ke seluruh tubuh menjadi tidak efektif. Beberapa keadaan menjadi penyebab kelainan ini, tetapi yang paling sering adalah adanya timbunan suatu protein yang dikenal sebagai amyloid di otot jantung. Disamping itu, hemochromatosis dan akibat penyakit jantung lain yang beberapa diantaranya diwariskan, juga merupakan penyebab timbulnya RCM.

4. Arrhythmogenic right ventricular dysplasia

Jenis ini merupakan kardiomiopati yang sangat jarang dan dijumpai pada sekitar 1 dari 5000 orang. Ciri kelainan ini adalah digantikannya otot jantung ventrikel kanan secara bersangsur-angsur oleh lapisan jaringan lemak yang akhirnya menyebabkan masalah besar dalam ritme jantung. Karena jantung dengan tiba-tiba dapat berhenti berdenyut, maka kelainan ini merupakan penyebab lazim kematian mendadak akibat penyakit jantung. Sekitar seperlima kasus kematian mendadak akibat kelainan jantung pada orang berusia kurang dari 35 tahun dan merupkan penyebab kematian mendadak

utama pada atlit muda usia. Kelainan ini belum banyak diketahui, tetapi antara 30 sampai 90% bersifat familial dan diwarsiakan secara dominant autosom.

Aspek genetik kardiomiopati

Telah diketahui bahwa kelainan pada manusia dapat timbul akibat factor genetis dan lingkungan. Ada kalanya suatu kelainan muncul murni karena factor genetis, sebaliknya ada kalanya suatu kelainan muncul murni karena factor lingkungan. Sebagian besar kelainan atau penyakit muncul sebagai hasil kombinasi faktor genetis dan lingkungan. Bagi kelainan yang ditentukan oleh faktor genetis, maka faktor yang

ditemukenali mungkin terjadi karena kerusakan gena tunggal (pewarisan gena tunggal = monogenic inheritance), kerusakan beberapa gena (pewarisan banyak gena = polygenic inheritance) atau kelainan multifaktor yang melibatkan banyak gena dan lingkungan. Dari berbagai jenis kelainan ini, pewarisan kelainan gena tunggal pada keturunan akan berlangsung mengikuti hukum Mendel sederhana. Tetapi untuk kelainan banyak gena dan multifaktor, pola pewarisan akan semakin kompleks.

Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, kardiomiopati dianggap sebagai idiopathic dengan penyebab yang sulit dijelaskan. Perkembangan teknik-teknik genetik khususnya pada aras molekul dalam beberapa tahun belakangan memungkinkan pemahaman lebih lanjut tentang penyakit pada manusia termasuk kardiomiopati serta penyakit pada mahluk hidup lain. Kelainan yang selama ini idiopathic, sekarang diketahui sebagai akibat adanya mutasi gena. Tetapi, identifikasi mutasi pada pasien kardiomiopati justru mengungkap kompleksitas molekul penyebab kelainan ini.

Pada dasarnya, fungsi jantung sangat ditentukan oleh fungsi otot jantung yang dipengaruhi oleh kondisi sel-sel otot (atau miosit) yang memiliki kemampuan berkontraksi. Sebagaimana diketahui, unit fungsional untuk kontraksi dalam sel otot (atau miosit) adalah sarkomer. Dalam miosit, protein yang bersifat kontraktil ini dapat dikelompokkan menjadi filament tebal dan filament tipis yang dalam proses kontraksi melibatkan peristiwa luncuran dan saling kait. Termasuk dalam filament tebal adalah rantai berat myosin, protein C pengikat miosin dan rantai ringan myosin. Sementara itu, termasuk filament tipis adalah aktin, kompleks troponin (troponin I, C dan T) serta tropomiosin. Gangguan pada salah satu dari protein kontraktil ini dapat berpengaruh pada fungsi otot. Oleh karena itu mutasi pada lokus gena protein-protein filamen tadi dapat mengganggu produk proteinnya dan selanjutnya mengganggu fungsi kontraksi miosit.

1. Hypertrophic cardiomyopathy (HCM)

Penyebabnya masih banyak belum diketahui, tetapi tampaknya factor genetis atau kecenderungan familial (lebih dari 90% kasus) merupakan penyebab utama (Murphy & Starling, 2005). Beberapa kasus HCM memang dapat terjadi pada individu yang tak memiliki riwayat keluarga. Sekitar 50% pasien HC memiliki sepupu satu yang juga didiagnosis HCM. Pada HCM, sel otot jantung membesar dan berakibat menebalnya dinding jantung, sehingga jantung tak dapat berfungsi dengan baik. Seperti diketahui, kemampuan otot jantung untuk mengatur ketebalannya dikendalikan oleh gena-gena khusus. Mutasi gena-gena ini dapat menimbulkan hipertrofi otot jantung. HCM dapat terjadi lewat dua cara. Pada beberapa kasus muncul yang disebut kasus sporadic HCM yang tidak diwariskan dari salah satu dari kedua orangtua. Sementara itu 60%-70% kasus mendapatkan HCM lewat pewarisan gena mutan yang menyebabkan kecenderungan muncul HCM. Gena mutan semacam ini diwariskan secara dominan autosom. Sejauh ini telah dikenali berbagai macam gena penyebab HCM. Empat diantaranya telah dikarakterisasi dengan baik, tetapi gena yang kelima belum teridentifikasi. Diduga lokus gena ini terletak di kromosom 7. Kesemua gena tadi merupakan bagian dari mekanisma yang memungkinkan kontraksi otot jantung, yaitu:

Beta-myosin heavy chain (MYH7)

Alpha-tropomyosin (TMSA)

Cardiac troponin-T (TNNT2)

Myosin binding protein C (MYBPC).

Unidentified gene on chromosome 7 (CMH5)

Analisis linkage yang memberi bukti awal adanya heterogenitas alelik akibat mutasi pada lokus gena protein sarkomer seperti myosin-β rantai berat, troponin T, tropomiosin-α dan protein pengikat myosin miokard, menunjukkan bahwa HCM muncul sebagai akibat kerusakan protein sarkomer otot jantung. Heterogenitas alelik tadi timbul karena mutasi pada lokus di kromosom 4q11 (Jarcho et al., 1989), kromosom 11p11 (Carrier et al., 1993), kromosom 1q32 (Watkins et al., 1993), dan kromosom 15q22 (Thierfelder et al., 1993). Mutasi gena penyandi protein sarkomer ini menghasilkan HCM lewat berbagai mekanisma. Beberapa mutasi gena yang bersifat dominant akan membuat suatu alel menjadi tidak aktif, akibatnya jumlah protein fungsionalnya berkurang. Sementara itu, mutasi gena dominant lainnya menghasilkan protein mutan yang mengganggu fungsi protein normalnya atau memiliki fungsi yang berbeda. Jika diamati, kebanyakan mutasi pada HCM adalah mutasi misense baik itu pada gena miosin maupun protein sarkomer yang lain. Tetapi mutasi pada myosin jauh lebih banyak dibanding mutasi pada aktin sebagai penyebab HCM. Yang menarik, polimorfisma gena rennin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) yang tidak terkait langsung sebagai protein kontraktil juga berperan dalam timbulnya HCM (Ortlepp et al., 2002). Selanjutnya Poirier et al. (2003) melaporkan adanya 27 polimorfisma dalam empat gena penyandi komponen utama jalur reaksi

kalsineurin yang terkait dengan hipertrofi otot dan DCM. Dipandang dari sudut genetik, keanekaragaman mutasi dan jumlah gena yang mutasinya menimbulkan HCM ditafsirkan sebagai bukti kemunculan penyakit yang relatif baru dalam perjalanan evolusi manusia. Heterogenitas molecular semacam ini juga menjadi dasar keanekaragaman manifestasi klinis pada pasienpasien yang didiagnosis HCM.

2. Dilated cardiomyopathy (DCM)

Meskipun dikatakan bahwa DCM dijumpai pada 1 dari 200 orang (Trelogan, 2000), dalam kajian populasi prevalensi DCM adalah 1 dalam 2.500 (Codd et al., 1989 dalam Murphy & Starling, 2005), tetapi mungkin lebih tinggi karena pasienpasien yang asimptomatik sangat mungkin tidak terdiagnosis. Kajian keluarga menunjukkan bahwa sampai 50% kasus DCM adalah keturunan, diwariskan secara dominan autosom dan sebagian kecil resesif autosom, X-linked dan gangguan mitokondria. Penyebab kelainan ini sangat sedikit diketahui dan sangat heterogen, tetapi faktor genetik diduga menyumbang sekitar 30-50% dari seluruh kasus, yaitu berupa mutasi gena-gena tertentu yang diwariskan. Mutasi yang pertama kali ditemukan adalah mutasi pada gena protein sitoskelet yang disebut distrofin dan dijumpai pada pasien-pasien DCM bersamaan dengan gangguan distrofi otot Duchene dan Becker. Gena ini terdapat pada kromosom X dan diwariskan lewat pola pewarisan terkait-X (Murphy & Starling, 2005). Dalam perkembangan kemudian, ditemukan beberapa mutasi pada protein sitoskelet seperti desmin (Dalakas et al., 2000), dan D-Sarkoglikan (Tsubata et al., 2000). Pada DCM juga ditemukan pasien dengan mutasi gena protein membran

inti seperti emerin dan lamin A/C (Fatkin et al., 1999). Protein sitoskelet ini penting

untuk mempertahankan integritas struktur dan mengantarkan daya kerja otot. Kebanyakan mutasi protein sitoskelet menyebabkan disfungsi jantung saja meskipun beberapa mutasi menyebabkan disfungsi otot jantung sekaligus otot skelet. Mutasi lamin A/C terkait dengan distrofi otot Emery-Dreifuss (X-linked), tetapi juga dengan DCM autosom dominan dan mungkin terkait dengan bentuk parah berinsidensi kematian mendadak tinggi. Beberapa mutasi gena protein sarkomer, yaitu troponin T dan miosin-β rantai berat yang semula hanya dijumpai pada HCM, pada beberapa keluarga ternyata juga menyebabkan DCM. Sampai sekitar 6% kasus DCM familial

disebabkan oleh mutasi protein kompleks troponin (troponin T, I & C). Dilaporkan

juga adanya mutasi gena suatu pompa kalsium yaitu fosfolamban (Schmitt et al., 2003) dan protein lorong kalsium yang sensitif ATP (Bienengraeber et al., 2004). Mengingat heterogenitas DCM, dalam waktu dekat masih sulit dilaksanakan pemeriksaan genetik untuk diagnosis kelainan jantung ini.

3. Restrictive cardiomyopathy (RCM)

Beberapa kasus RCM masih dinyatakan sebagai idiopatik, tetapi beberapa kelainan yang diwariskan seperti amiloidosis dapat menimbulkan kelainan ini.

Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa pasien yang tampak sebagai RCM idiopatik, ternyata menunjukkan adanya mutasi gena troponin I (TNNI3) pada enam dari sembilan pasien yang diperiksa (Mogensen et al., 2003). Mutasi pada gena protein troponin I ini ternyata juga dijumpai pada pasien HCM. Adanya mutasi yang sama pada pasien RCM dengan proporsi yang cukup besar menunjukkan bahwa RCM adalah bagian dari ekspresi klinis protein kontraktil sarkomer maupun HCM.

4. Arrhythmogenic right ventricular dysplasia (ARVD)

Pada ARVD lazim dijumpai kelainan familial yang diwariskan secara dominant autosom. Tetapi, pada pasien di pulau Naxos Yunani, dijumpai pewarisan resesif autosom. Kelainan ini disebabkan oleh adanya mutasi delesi pada gena plakoglobin yang menyandi protein penghubung antar sel yang di otot jantung adalah miosit (McKoy et al., 2000). Fenomena ini didukung dengan dilaporkannya mutasi pada reseptor ryanodin jantung (Tiso et al., 2001) yang merupakan informasi penting mengenai patogenesis kelainan ini bahwa ARVD disebabkan oleh gangguan protein penghubung sel ke sel.

Kesimpulan

Kardiomiopati sebagai deskripsi fenotip klinis, terbukti memiliki patogenesis yang kompleks. Sebagaimana penyakit atau kelainan dengan patogenesis yang kompleks, kebanyakan fenotip yang ditampilkan adalah hasil atau konsekuensi interaksi faktor lingkungan (atau environment, nurture) dan genetis (atau nature). Dengan demikian pengungkapan struktur genetic berbagai penyakit (khususnya yang bukan murni kelainan genetik) termasuk kardiomiopati, sangat bermanfaat untuk ikut menjelaskan keberagaman fenotip klinis lewat mekanisma interaksinya dengan factor lingkungan.

Sampai saat ini telah banyak dilaporkan mutasi pada lokus gena berbagai protein kontraktil sakomer otot jantung. Disamping itu juga mutasi pada lokus gena yang tidak terkait langsung dengan protein kontraktil sarkomer. Tetapi fenotip klinis yang muncul adalah berbagai jenis kardiomiopati yang secara klinis sangat heterogen. Kajian terus menerus lewat kajian keluarga dan analisis molecular sangat diperlukan untuk menjelaskan fenomena heterogenitas klinis kardiomiopati. Informasi yang lebih ekstensif mengenai berbagai bentuk mutasi yang mendasari kardiomiopati memungkinkan upaya diagnosis yang lebih dini di masa depan dan diikuti dengan upaya pengelolaan penyakitnya secara lebih tepat.

Daftar Pustaka

1. Anonim, 1980. Report of the WHO/ISFC task force on the definition and classification of cardiomyopathies. Eur Heart J Br Heart J. 44: 672-673

2. Andersson B, Waagstein F. 1993. Spectrum and outcome of congestive heart failure in a hospitalized population. Am Heart J. 126: 632-640.

3. Bienengraeber M, Olson TM, Seliwanov VA, et al. 2004. ABCC9 mutations identified in human dilated cardiomyopathy disrupt catalytic KATP channel gating. Nat Genet. 36: 382-387.

4. Carrier L, Hengstenberg C, Beckmann JS, Guicheney P, Dufour C, Bercovici J, Dausse E, Berebbi-Bertrand I, Wisnewsky C, Pulvenis D, et al. 1993.Mapping of a novel gene for familial hypertrophic cardiomyopathy to chromosom 11. Nat Genet. 4: 311-313

5. Cleland JG, Khan A, Clark A. 2001. The heart failure epidemic: exactly how big is? Eur Heart J. 22: 623-626

6. Dalakas MC, Park KY, Semino-Mora C, et al., 2000. Desmin myopathy: a skeletal myopathy with cardiomyopathy caused by mutations in the desmin gene. N Engl J Med. 343: 770-780.

7. Eriksson H. 1995. Heart failure: a growing public health problem. J. Intern Med. 237:135-141.

8. Fatkin D, MacCrae CA, Sasaki T, et al. 1999. Missense mutations in the rod domain of the Lamin a/c gene as causes of dilated cardiomyopathy and conduction system disease. N Engl J Med. 341: 1715-1724.

9. Felker GM, Thompson RE, Hare JM, et al. 2000. Underlying causes and long-term survival in patients with initially unexplained cardiomyopathy. N Engl J Med. 342:1077-84.

10. Franz WM, Muller OJ, Katus HA. 2001. Cardiomyopathies: from genetics to the prospect of treatment. The Lancet, 358: 1627-1637.

11. Jarcho JA, McKenna W, Pare JAP, Solomon SD, Holcombe RF, Dickie S, Levi T, Donis-Keller H, Seidman JG, Seidman CE. 1989. Mapping a gene for familial hypertrophic cardiomyopathy to chromosome 14q1. N Engl J Med. 321, 1372-1378.

12. McKoy G, Protonataris N, Crosby A, et al. 2000. Identification of a deletion in plakoglobin in arrhytmogenic right ventricular cardiomyopathy, planoplantar keratoderma and woolly hair (Naxos disease). Lancet, 355:2119-2124.

13. Mogensen J, Kubo T, Duque M, Uribe W, Shaw A, Murphy R, Gimeno JR, Elliott P, McKenna WJ. 2003. Idiopathic restrictive cardiomyopathy is part of the clinical expression of cardiac troponin I mutations. J Clin Invest, 111 (2): 209-216.

14. Murphy RT & Starling RC. 2005. Genetics and cardiomyopathy: Where are we now? Cleveland Clinic J of Medicine, 70 (6) : 456-483.

15. Narula J, Haider N, Virmani R, DiSilvano TG, Kolodgie FD, Hajjar RJ, Schmidt U, Semigran J, Dec GW, Khaw BA. Apoptosis in myocytes in end-stage heart failure. New Engl J Med. 335: 1182-1189.

16. Ortlepp JR, Vosberg HP, Reith S, Ohme F, Mahon NG, Schroder D, Klues HG, Hanrath P, McKenna WJ. 2002. Genetic polymorphisms in the rennin-angiotensi-aldosterone system associated with expression of left ventricular hypertrophy in hypertrophic cardiomyopathy: a study of five polymorphic genes in a family with a disease causing mutation in the myosin binding protein C gene. Heart, 87 (3): 270-275

17. Packer M, Coats AJS, Fowler MB, et al. 2001. Effect of carvedilol on the survival of patients with severe chronic heart failure. N Engl J Med. 244: 1651-1658.

18. Poirier O, Nicaud V, McDonagh T, Dargie HJ, Desnos M, et al. 2003. Polymorphisms of genes of the cardiac calcineurin pathway and cardiac hypertrophy. European J Hum Genetics. 11: 659-664

19. Richard P, Villard E, Charron P, Isnard R. 2006. The Genetic Bases of Cardiomyopathies. J Am Coll Cardiol, doi:10.1016/j.jacc.2006.09.014 (Published online 16 October 2006).

20. Schmitt JP, Kamisago M, Asahi M, et al. 2003. Dilated cardiomyopathy and heart failure caused by a mutation in phospholamban. Science, 299: 1410-1413.

21. Thierfelder L, MacRae C, Watkins H, Tomfohrde J, Williams M, McKenna W, Bohm K, Noeske G, Schlepper M, Bowcock A et al. 1993. A familial hypertrophic cardiomyopathy locus maps to chromosome 15q2. Proc. Nat. Acad. Sci. USA. 90, 6270-6274.

22. Tiso N, Stephan DA, Nava A, et al. 2001. Identification of mutations in the cardiac ryanodine receptor gene in families affected with arrhytmogenic right ventricular cardiomyopathy type 2. Hum Mol Genetics. 10: 189-194.

23. Trelogan S. 2000. What is Cardiomyopathy.

http://www.genetichealth.com/HD_What_is_Cardiomyopathy.shtml

24. Tsubata S, Bowles KR, Vatta M, et al. 2000. Mutations in the human delta-sarcoglycan gene in familial and sporadic dilated cardiomyopathy. J Clin Invest. 106: 655-662

25. Watkins H, MacRae C, Thiefelder L, Chou YH, Frenneaux M, McKenna W, Seidman JG and Seidman CE. 1993. A disease locus for familial hypertrophic cardiomyopathy maps to chromosome 1q3. Nat Genet. 3: 333-337.

26. WHO. 1996. Report of the 1995 World Health Organization/International Society and Federation of Cardiology Task Force on the definition and classification of cardiomyopathies.

Circulation. 93: 841-842

Kamis, 03 April 2008

TALASEMIA

Talasemia

Talasemia merupakan salah satu jenis anemia hemolitik dan merupakan penyakit keturunan yang diturunkan secara autosomal yang paling banyak dijumpai di Indonesia dan Italia. Enam sampai sepuluh dari setiap 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini. Kalau sepasang dari mereka menikah, kemungkinan untuk mempunyai anak penderita talasemia berat adalah 25%.

Klasifikasi talasemia

Talasemia dapat kita klasifikasikan berdasarkan jenis rantai globin apa yang terganggu. Berdasarkan dasar klasifikasi tersebut, maka terdapat beberapa jenis talasemia, yaitu talasemia alfa, beta, dan delta.

Talasemia alfa

Pada talasemia alfa, terjadi penurunan sintesis dari rantai alfa globulin. Dan kelainan ini berkaitan dengan delesi pada kromosom 16. Akibat dari kurangnya sintesis rantai alfa, maka akan banyak terdapat rantai beta dan gamma yang tidak berpasangan dengan rantai alfa. Maka dapat terbentuk tetramer dari rantai beta yang disebut HbH dan tetramer dari rantai gamma yang disebut Hb Barts. Talasemia alfa sendiri memiliki beberapa jenis.

Delesi pada empat rantai alfa

Dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak Hb Barts. Gejalanya dapat berupa ikterus, pembesaran hepar dan spleen, dan janin yang sangat anemis. Biasanya, bayi yang mengalami kelainan ini akan mati beberapa jam setelah kelahirannya atau dapat juga janin mati dalam kandungan pada minggu ke 36-40. Bila dilakukan pemeriksaan seperti dengan elektroforesis didapatkan kadar Hb adalah 80-90% Hb Barts, tidak ada HbA maupun HbF

Delesi pada tiga rantai alfa

Dikenal juga sebagai HbH disease biasa disertai dengan anemia hipokromik mikrositer. Dengan banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan. Jika dilakukan pemeriksaan mikroskopis dapat dijumpai adanya Heinz Bodies.

Delesi pada dua rantai alfa

Juga dijumpai adanya anemia hipokromik mikrositer yang ringan. Terjadi penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH

Delesi pada satu rantai alfa

Disebut sebagai silent carrier karena tiga lokus globin yang ada masih bisa menjalankan fungsi normal.

Talasemia beta

Disebabkan karena penurunan sintesis rantai beta. Dapat dibagi berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu Ttalasemia mayor, intermedia, dan karier. Pada kasus talasemia mayor Hb sama sekali tidak diproduksi. Akibatnya, penderita akan mengalami anemia berat. Jika tidak diobati, bentuk tulang wajah berubah dan warna kulit menjadi hitam. Selama hidupnya penderita akan tergantung pada transfusi darah. Ini dapat berakibat fatal, karena efek sampingan transfusi darah terus menerus yang berupa kelebihan zat besi (Fe).

Mutasi talasemia dan resistensi terhadap malaria

Walaupun sepintas talasemia terlihat merugikan, penelitian menunjukkan kemungkinan bahwa pembawa sifat talasemia diuntungkan dengan memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap malaria. Hal tersebut juga menjelaskan tingginya jumlah karier di Indonesia. Secara teoritis, evolusi pembawa sifat talasemia dapat bertahan hidup lebih baik di daerah endemi malaria seperti di Indonesia.

Uji talasemia pra-kelahiran

Wanita hamil yang mempunyai resiko mengandung bayi talasemia dapat melakukan uji untuk melihat apakan bayinya akan mederita talasemia atau tidak. Di Indonesia, uji ini dapat dilakukan di Yayasan Geneka Lembaga Eijkman di Jakarta. Uji ini melihat komposisi gen-gen yang mengkode Hb.

Jenis Talasemia

Terdapat dua jenis talasemia iaitu:

  • Talasemia minor : Talasemia minor merujuk kepada mereka yang mempunyai
    kecacatan gen talasemia tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda talasemia
    atau pembawa.
  • Talasemia major : Talasemia major merujuk kepada mereka yang mempunyai
    baka talasemia sepenuhnya dan menunjukkan tanda-tanda talasemia.

Pautan luar

Minggu, 30 Maret 2008

Impetigo

Impetigo adalah infeksi pada kulit yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri penyebabnya dapat satu atau kedua dari Stafilokokus aureus dan Streptokokus hemolitikus B grup A. Impetigo mengenai kulit bagian atas (epidermis superfisial).

Impetigo adalah infeksi kulit yang sering terjadi pada anak-anak. Impetigo umumnya mengenai anak usia 2-5 tahun. Impetigo terdiri dari dua jenis, yaitu impetigo krustosa (tanpa gelembung cairan, dengan krusta/keropeng/koreng) dan impetigo bulosa (dengan gelembung berisi cairan).

Impetigo adalah infeksi kulit yang mudah sekali menyebar, baik dalam keluarga, tempat penitipan atau sekolah.

Epidemiologi

Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang terinfeksi). Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa.

Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk.

Gejala klinis

Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dari kelainan lain (sekunder) baik penyakit kulit (gigitan binatang, varizela, infeksi herpes simpleks, dermatitis atopi) atau penyakit sistemik yang menurunkan kekebalan tubuh (diabetes melitus, HIV)

Impetigo bulosa

  • Vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter <0,5cm)>0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh
  • Atap dari bulla pecah dan meninggalkan gambaran “collarette” pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah
  • Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh
  • Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain.
  • Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.
  • Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
  • Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang sekali disetai dengan radang paru, infeksi sendi atau tulang.
Impetigo bulosa
Impetigo bulosa

gambar 1. impetigo bulosa

gambar 2. impetigo bulosa

Diagnosis banding lainnya dari impetigo bulosa :

  • Eritema multiforme bulosa : vesikel atau bulla yang timbul dari plak (penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah, berdiameter 1-5cm, pada daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor)
  • Lupus eritematosa bullosa : lesi vesikel dan bula yang menyebar dapat gatal, seringkali melibatkan bagian atas badan dan daerah lengan
  • Pemfigus bulosa : vesikel dan bula timbul cepat dan gatal menyeluruh, dengan plak urtikaria
  • Herpes simplex : vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet dan tertutup krusta, biasanya pada bibir dan kulit
  • Gigitan serangga : bulla dengan papul pruritus (gatal) berkelompok di daerah yang terkena gigitan
  • Pemfigus vulgaris : bulla yang tidak gatal, ukuran bervariasi dari 1 sampai beberapa sentimeter, muncul bertahap dan menjadi menyeluruh, lecet muncul seminggu sebelum penyembuhan dengan hiperpigmentasi (warna kulit yang lebih gelap dari sebelumnya), tidak ada jaringan parut
  • Sindrom steven-johnson : vesikulobulosa (lesi gelembung mulai dari vesikel sampai bulla) yang melibatkan kulit, mulut, mata dan genitalia; sariawan yang dalam degan krusta akibat perdarahan adalah gambaran khas.
  • Luka bakar : terdapat riwayat luka bakar derajat dua
  • Toxic epidermal necrolysis : seperti sindrom steven-johnson yang diikuti pengelupasan kulit badian atas (epidermis) secara menyeluruh.
  • Varisela : vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan kaki dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat yang sama.
Impetigo krustosa
  • Awalnya berupa warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat dengan diameter <0,5cm)>
  • Lesi papul segera menjadi menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan keropeng/koreng berwarna kunig madu dan lengket yang berukuran <2cm>
  • Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya atau mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies, vasisela, dermatitis atopi) dan dapat menyebar dengan cepat.
  • Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering terbuka ( tangan dan kaki).
  • Kelenjar getah bening dapat menbesar dan dapat nyeri
  • Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi)
  • Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena tindakan diri sendiri (digaruk lalu tangan memegang tempat lain sehingga mengenai tempat lain). Lalu dapat sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu tanpa jaringan parut..
  • Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi dapat ditemukan pada orang dengan impetigo krustosa sebagai tanda glomerulonefritis (radang pada ginjal) akibat reaksi tubuh terhadap infeksi oleh kuman Streptokokus penyebab impetigo
  • Tidak ada tanda gejala radang tenggorokan
impetigo krustosa
impetigo krustosa

gambar 3. impetigo krustosa

gambar 4. impetigo krustosa


Diagnosis banding lainnya dari impetigo krustosa adalah :

  • Dermatitis atopi : keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit yang kering; penebalan pada pada lipatan kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada anak seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam.
  • Candidiasis (infeksi jamur candida) : papul merah, basah;umumnya didaerah selaput lendir atau daerah lipatan.
  • Dermatitis kontak : gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan zat-zat yang mengiritasi.
  • Diskoid lupus eritematosa : lesi datar (plak) berbatas tegas yang mengenai sampai folikel rambut.
  • Ektima : lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai jaringan kulit dalam (dermis).
  • Herpes simplex : vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet tertutupi oleh krusta, biasanya pada bibir dan kulit.
  • Gigitan serangga : terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri
  • Scabies : vesikel yang menyebar, kecil, terdapat terowongan, pada sela-sela jari, gatal pada malam hari.
  • Varisela : vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan kaki dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat yang sama.

Diagnosis banding lainnya secara umum dari kelainan kulit yang menyerupai impetigo dan memerlukan penanganan segera adalah :

  • Selulitis adalah infeksi pada kulit yang meluas sampai mengenai jaringan bawah kulit. Penyebab tersering adalah grup A B-hemolitic streptococus. Faktor risikonya adalah lecet pada kulit, robek pada kulit, luka bakar, kulit yang mengalami dermatitis.
  • Reaksi alergi/dermatitis kontak seringkali didiagnosis selulitis. Jika terdapat gatal dan tidak terdapat nyeri tekan maka seringkali bukan selulitis.
  • Erisipelas adalah bentuk infeksi permukaan dari selulutis.
  • Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) adalah kelainan kulit dengan gelembung-gelembung (vesikel-bulla) yang disebabkan oleh toksin/racun yang dihasilkan bakteri Stafilokokus aureus.
  • Necroticing fasciitis adalah infeksi jaringan lunak yang progesif yang ditandai dengan nekrosis (kematian jaringan) dari jaringan bawah kulit.
Pengobatan

Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan memperbaiki kosmetik dari lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang lain dan mencegah kekambuhan.

Pengobatan harus efektif, tidak mahal dan memiliki sedikit efek samping. Antibiotik topikal (lokal) menguntungkan karena hanya diberikan pada kulit yang terinfeksi sehingga meminimalkan efek samping. Kadangkala antibiotik topikal dapat menyebabkan reaksi sensitifitas pada kulit orang-orang tertentu.

Pada lesi yang terlokalisir maka pemberian antibiotik topikal diutamakan. Karena antibiotik topikal sama efektifnya dengan antibiotik oral. Pilihan antibiotik topikal adalah mupirocin 2% atau asam fusidat. Antibiotik oral disimpan untuk kasus dimana pasien sensitif terhadap antibiotik topikal, lesi lebih luas atau dengan penyakit penyerta yang berat. Penggunaan disinfektan topikal tidak direkomendasikan dalam pengobatan impetigo.

Obat topikal yang diberikan mupirocin 2% diberikan di kulit yang terinfeksi 3x sehari selama tiga sampai lima hari. Antibiotik oral yang dapat diberikan adalah Amoxicillin dengan asam klavulanat; cefuroxime;cephalexin; dicloxacillin; atau eritromicin selama 10 hari.

Pengobatan penunjang adalah :

  • Menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai mengelupaskan krusta dengan handuk basah
  • Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak
  • Lanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh

Dengan pengobatan antibiotik selama 24 jam maka infeksi sudah tidak menyebar dan anak dapat masuk sekolah atau bertemu dengan teman-temannya. Untuk mencegah impetigo dapat dilakukan :

  • Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)
  • Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan bersih
  • Jauhkan diri dari orang dengan impetigo
  • Orang yang kontak dengan orang yang terkena impetigo segera mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
  • Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.
  • Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu

Kunjungan ke ulang ke dokter dilakukan bila :

  • Lesi impetigo menyebar lebih luas setelah pengobatan
  • Anak menjadi tidak sehat; misalnya disertai demam

Impetigo sangat menular dan dapat dengan mudah menyebar ke orang lain karena itu penting untuk diingat bahwa pencegahan anak untuk menggaruk luka sangat penting, anak dapat kembali beraktivitas setelah 24 jam pengobatan dan semua luka/ lecet sudah ditutup (dengan kasa), lanjutkan pengobatan sampai semua lesi hilang, dan jangan lupa untuk mengelupaskan krusta walaupun anak dalam pengobatan sekalipun.

Keluaran dan komplikasi

Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak diobati. Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi streptokokus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala berupa bengkak dan tekanan darah tinggi, pada sepertiga terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.

Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-paru (pneumonia), selulitis, psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening.

Sumber
  1. Sladen MJ, Johnston GA. Common skin infections in children. BMJ 2004;329:95-9.
  2. Sladen MJ, Johnston GA. More Common skin infections in children. BMJ 2005;330:1194-8.
  3. Stulberg DL, Penrod MA, Blatny RA. Common Bacterial Skin Infections. Am. Fam. Physician 2002;66:119-24
  4. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. Am. Fam Physician 2007;75:859-64.
  5. Cellulitis & Skin Infections. RCH guidelines. Diunduh dari http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=5163
  6. Impetigo (school sores). Kids Health info for parents. Diunduh dari http://www.rch.org.au/kidsinfo/factsheets.cfm?doc_id=5354
  7. Lewis LS. Impetigo. Diunduh dari http://www.emedicine.com/ped/topic1172.htm
  8. Impetigo. Mayo Foundation for Medical Education and Research. Diunduh dari http://www.mayoclinic.com/print/impetigo/DS00464/DSECTION=all&METHOD=print

Sabtu, 29 Maret 2008

Nefrolitiasis (Batu Ginjal)

DEFINISI

Merupakan suatu penyakit yang salah satu gejalanya adalah pembentukan batu di dalam ginjal.(1)

Gambar. Batu Ginjal (2)


ETIOLOGI

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologik terdapat beberapa faktor yang mempermudah terbentuknya batu pada saluran kemih pada seseorang. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh orang itu sendiri dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.(3)

Faktor intrinsik antara lain :

  1. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
  2. Umur : penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
  3. Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan

Faktor ekstrinsik diantaranya adalah :

  1. Geografis : pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi dari pada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stonebelt.
  2. Iklim dan temperatur
  3. Asupan air : kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi.
  4. Diet : Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu.
  5. Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas atau sedentary life.(3)


EPIDEMIOLOGI

Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di negara-negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini, misalnya Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir.(1)


EFEK BATU PADA SALURAN KEMIH

Ukuran dan letak batu biasanya menentukan perubahan patologis yang terjadi pada traktus urinarius : (4)

a. Pada ginjal yang terkena

  • Obstruksi
  • Infeksi
  • Epitel pelvis dan calis ginja menjadi tipis dan rapuh.
  • Iskemia parenkim.
  • Metaplasia

b. Pada ginjal yang berlawanan

  • Compensatory hypertrophy
  • Dapat menjadi bilateral


GAMBARAN KLINIS

Batu ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala berupa obstruksi aliran kemih dan infeksi. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada penderita batu ginjal antara lain : (1)

  1. Tidak ada gejala atau tanda
  2. Nyeri pinggang, sisi, atau sudut kostovertebral
  3. Hematuria makroskopik atau mikroskopik
  4. Pielonefritis dan/atau sistitis
  5. Pernah mengeluarkan baru kecil ketika kencing
  6. Nyeri tekan kostovertebral
  7. Batu tampak pada pemeriksaan pencitraan
  8. Gangguan faal ginjal.


DIAGNOSIS

Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis, penyakit batu ginjal perlu didukung dengan pemeriksaan radiologik, laboratorium, dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal.

A. Anamnesis

Anamnesa harus dilakukan secara menyeluruh. Keluhan nyeri harus dikejar mengenai onset kejadian, karakteristik nyeri, penyebaran nyeri, aktivitas yang dapat membuat bertambahnya nyeri ataupun berkurangnya nyeri, riwayat muntah, gross hematuria, dan riwayat nyeri yang sama sebelumnya. Penderita dengan riwayat batu sebelumnya sering mempunyai tipe nyeri yang sama.(5)


B. Pemeriksaan Fisik

  • Penderita dengan keluhan nyeri kolik hebat, dapat disertai takikardi, berkeringat, dan nausea.
  • Masa pada abdomen dapat dipalpasi pada penderita dengan obstruksi berat atau dengan hidronefrosis.
  • Bisa didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra, tanda gagal ginjal dan retensi urin.
  • Demam, hipertensi, dan vasodilatasi kutaneus dapat ditemukan pada pasien dengan urosepsis.(5,3)


C. Pemeriksaan penunjang

- Radiologi

Secara radiologi, batu dapat radiopak atau radiolusen. Sifat radiopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini dapat diduga batu dari jenis apa yang ditemukan. Radiolusen umumnya adalah jenis batu asam urat murni.

Pada yang radiopak pemeriksaan dengan foto polos sudah cukup untuk menduga adanya batu ginjal bila diambil foto dua arah. Pada keadaan tertentu terkadang batu terletak di depan bayangan tulang, sehingga dapat luput dari penglihatan. Oleh karena itu foto polos sering perlu ditambah foto pielografi intravena (PIV/IVP). Pada batu radiolusen, foto dengan bantuan kontras akan menyebabkan defek pengisian (filling defect) di tempat batu berada. Yang menyulitkan adalah bila ginjal yang mengandung batu tidak berfungsi lagi sehingga kontras ini tidak muncul. Dalam hal ini perludilakukan pielografi retrograd. (1)

Ultrasonografi (USG) dilakukan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan; alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada wanita yang sedang hamil (3). Pemeriksaan USG dapat untuk melihat semua jenis batu, selain itu dapat ditentukan ruang/ lumen saluran kemih. Pemeriksaan ini juga dipakai unutk menentukan batu selama tindakan pembedahan untuk mencegah tertinggalnya batu (1).

- Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan menentukan penyebab batu.(1)


PENATALAKSANAAN

  1. Terapi medis dan simtomatik

Terapi medis berusaha untuk mengeluarkan batu atau melarutkan batu. Terapi simtomatik berusaha untuk menghilangkan nyeri. Selain itu dapat diberikan minum yang berlebihan/ banyak dan pemberian diuretik.

2. Litotripsi

Pada batu ginjal, litotripsi dilakukan dengan bantuan nefroskopi perkutan untuk membawa tranduser melalui sonde kebatu yang ada di ginjal. Cara ini disebut nefrolitotripsi. Salah satu alternatif tindakan yang paling sering dilakukan adalah ESWL. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) yang adalah tindakan memecahkan batu ginjal dari luar tubuh dengan menggunakan gelombang kejut.

  • 3. Tindakan bedah

Tindakan bedah dilakukan jika tidak tersedia alat litotripsor, alat gelombang kejut, atau bila cara non-bedah tidak berhasil.(1)


DAFTAR PUSTAKA

  1. Sjamsuhidrajat R, 1 W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran – EGC. 2004. 756-763.
  2. Webmaster. Batu Saluran Kemih. Diunduh dari : http://www.medicastore.com. Last update : Januari 2008.
  3. Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Edisi Ke-2. Jakarta : Perpustakaan Nasional republik Indonesia. 2003. 62-65.
  4. Webmaster. Renal Calculus. Diunduh dari : http://www.icm.tn.gov.in. Last update : November 2007.
  5. Tanagho EA, McAninch JW. Smith’s General Urology. Edisi ke-16. New York : Lange Medical Book. 2004. 256-283.